Selama Perang Dingin, Uni Soviet dan Amerika Serikat terlibat dalam perlombaan militer yang intens. Dengan memahami dinamika ini melalui sudut pandang realisme, kita dapat melihat bagaimana kedua negara besar bertindak rasional untuk menjaga keamanan dan kekuasaan mereka dalam sistem internasional yang anarkis. Realisme dalam hubungan internasional memandang dunia sebagai arena konflik di mana negara-negara berjuang untuk kekuasaan dan keamanan. Dalam sistem internasional yang anarkis, negara-negara bertindak untuk melindungi kepentingan nasional dan kelangsungan hidupnya.
Militerisasi Amerika Serikat dilakukan untuk membendung komunisme Uni Soviet di negara-negara dunia ketiga melalui kebijakan strategis, dan memposisikan mereka sebagai kekuatan global yang mencerminkan paradigma realisme yang dimana berfokus kepada keseimbangan kekuatan. Hal pertama yang dilakukan Amerika adalah membentuk aliansi seperti NATO dan bantuan ekonomi serta militer kepada negara-negara yang terancam komunisme melalui doktrin truman seperti Yunani dan Turki. Amerika Meningkatkan anggaran pertahanan pengembangan teknologi militer, termasuk senjata nuklir untuk mempertahankan gelar superioritasnya. Selain itu, kehadiran militer Amerika serikat di negara negara ketiga untuk memperluaskan ideologi liberalnya.
Untuk menangkal langkah Amerika Serikat, Uni Soviet merespon dengan mempertahankan pengaruhnya, Uni Soviet juga mengembangkan kemampuan nuklirnya untuk mengimbagi kekuatan Amerika Serikat dan mengemukakan Doktrin Mutual Assured Destruction (MAD). Setelah itu Uni Soviet juga membentuk Pakta Warsawa sebagai respon dari pembentukan NATO di eropa Timur.
Uni Soviet dan Amerika Serikat terlibat dalam penjajahan di negara dunia ketiga dan melakukan proxy war di negara tersebut untuk memperluas pengaruh geopolitiknya. Dari sudut pandang realisme, militerisasi ini mencerminkan perebutan hegemoni antara negara adidaya. Ketakutan anarki yang mendorong kedua negara memaksimalkan kekuatan militernya. Persaingan militerisasi ini berlanjut dengan perlombaan persenjataan, alokasi besar-besaran di sumber daya pertahanan sebagai cerminan dari fokus utama realisme kepada pertahanan keamanan negara
Selama Perang Dingin Uni Soviet dan Amerika Serikat terlebat dalam perlombaan militer yang sangat kuat. Dalam perspektif Realisme, keamanan negara adalah tujuan utama bagi setiap negara. Ketika otoritas internasional yang dapat menjadi keamanan, maka negara harus bergantung kepada kekuatannya sendiri. Di pemerintahan Presiden Ronald Reagan memfokuskan kebiajakan luar negerinya dalam penguatan militer, seperti memberlakukan kembali wajib militer dan membentuk pasukan yang siap siaga untuk merespon ketika Amerika mendapatkan ancaman kapan saja. Di satu sisi Uni Soviet terus meningkatkan kekuatan militernya, termasuk senjata nuklir, meskipun harus menghadapi tantangan ekonomi di dalam negeri. Mereka percaya bahwa keamanan imperium mereka bergantung pada dominasi militer. Strategi ini menciptakan situasi di mana kedua negara berlomba memperkuat kemampuan militer untuk menghindari serangan dari pihak lain, fenomena yang disebut sebagai dilema keamanan (security dilemma).
Menurut realisme, dunia adalah arena kompetisi untuk menjaga keseimbangan kekuatan. Tidak ada negara yang ingin pihak lain menjadi terlalu kuat. Amerika Serikat berusaha mengimbangi dominasi Soviet dengan meningkatkan anggaran militer dan memperluas pengaruh globalnya, termasuk di kawasan seperti Asia Tenggara. Dengan memperbesar kapasitas militernya, Soviet mencoba menjaga posisi mereka sebagai kekuatan global. Namun, mereka menghadapi tekanan internal, seperti krisis di Polandia, yang membuat posisi mereka lebih defensif dibandingkan sebelumnya. Perlombaan senjata ini juga mencerminkan logika zero-sum game: jika satu pihak memperkuat diri, pihak lain merasa dirugikan dan harus merespons dengan langkah serupa.
Meskipun Perang Dingin sering dilihat sebagai konflik ideologi antara kapitalisme (AS) dan komunisme (Soviet), perspektif realisme menempatkan ideologi sebagai alat pembenaran untuk memperkuat kekuasaan. Amerika Serikat menggunakan nilai-nilai demokrasi untuk menggalang dukungan dari sekutu. Uni Soviet memanfaatkan ideologi komunisme untuk mempertahankan kendali atas negara-negara satelitnya di Eropa Timur. Namun, pada inti persaingan ini, kedua negara hanya ingin mempertahankan dominasi dan mencegah pihak lain menjadi terlalu kuat.
Perlombaan militer antara AS dan Soviet memiliki dampak besar di kawasan Asia Tenggara. Negara-negara ASEAN, seperti Indonesia dan Malaysia, merasa terjepit di tengah kompetisi dua kekuatan besar. Mereka mencoba membentuk Kawasan Damai, Bebas, dan Netral (ZOPFAN) untuk menghindari pengaruh langsung dari kedua pihak. Posisi Republik Rakyat Cina (RRC) menjadi semakin penting. Jika AS berhasil membatasi gerakan Soviet, Cina bisa menjadi lebih agresif di kawasan. Namun, jika AS mendukung Cina untuk melawan Soviet, ketegangan baru dapat muncul.
Dalam pandangan realisme, militerisasi AS dan Uni Soviet selama Perang Dingin Kedua adalah respons alami terhadap lingkungan internasional yang penuh ketidakpastian. Mereka bertindak untuk menjaga keamanan dan memastikan keseimbangan kekuatan. Namun, perlombaan senjata ini juga menciptakan ketegangan yang memengaruhi kawasan lain, termasuk Asia Tenggara. Dinamika ini mengajarkan bahwa dalam politik internasional, kekuatan militer sering kali menjadi alat utama untuk mencapai tujuan negara. Pada saat yang sama, perlombaan militer juga membawa risiko besar, baik secara global maupun regional.
Sumber:
Hadi Soesastro (1981) - Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam “Perang Dingin” Kedua dan Implikasinya Bagi Asia Tenggara
Novita Mujiyati, Kuswono, Sunarjo (2016) - United States During The Cold War 1945-1990